Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 39]
Sabtu, 17 Februari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita berjumpa kembali dalam seri mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Setelah penulis membawakan dalil keutamaan dakwah tauhid di dalam surat Yusuf ayat 108 maka beliau membawakan hadits Ibnu ‘Abbas yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” “Apabila mereka telah menaatimu untuk itu kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam. Apabila mereka telah menaatimu dalam hal itu kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sedekah/zakat yang diambil dari orang kaya diantara mereka dan dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka. Apabila mereka menaatimu dalam hal itu maka berhati-hatilah kamu dari mengambil harta-harta mereka yang paling berharga. Dan hati-hatilah kamu dari doanya orang yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada pembatas antara doanya itu dengan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits yang agung ini menunjukkan kepada kita betapa besar perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap masyarakat dengan mengutus da’i yang mendakwahkan tauhid kepada mereka. Mu’adz bin Jabal diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk Yaman kala itu. Beliau ditugaskan sebagai qadhi/hakim di sana pada tahun 10 H, ada juga yang berpendapat bahwa beliau diutus ke Yaman pada akhir tahun 9 H sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 54 dan I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/145 keduanya karya Syaikh al-Fauzan)

Hadits ini juga memberikan faidah kepada kita disyari’atkannya mengutus atau mengirimkan para da’i dan hal itu termasuk bagian dari sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kepada kita bahwa materi pertama yang harus diperhatikan adalah perbaikan aqidah karena aqidah tauhid merupakan pondasi agama. Selain itu, hadits ini memberikan faidah bahwa kewajiban terbesar setelah tauhid adalah sholat (lihat al-Mulakhkhash, hlm. 55 dan I’anatul Mustafid, 1/145)

Hadits ini juga menunjukkan keutamaan ahli ilmu, karena Mu’adz adalah termasuk ahli ilmu yang sangat mengerti tentang perkara halal dan haram. Sebab untuk menunaikan dakwah ini dibutuhkan ilmu, tidak cukup hanya bermodalkan semangat. Kita telah mengetahui bersama bahwa ilmu merupakan bekal dan landasan untuk berucap dan beramal. Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Sahihnya ’Bab. Ilmu sebelum ucapan dan amalan’.

Hadits ini juga memberikan pelajaran kepada kita bahwa kewajiban pertama di dalam Islam adalah mengucapkan dan mengamalkan kandungan kalimat syahadat; yaitu dengan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hlm. 41)

Sebagaimana telah kita pelajari bersama dari Kitab Tauhid pada bab-bab sebelumnya bahwa tauhid yang bersih dari syirik merupakan sebab keamanan dan petunjuk bagi manusia. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An’am : 82).

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dari segala hal yang buruk dan diberikan petunjuk jalan lurus di dunia adalah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan tidak mengotori tauhidnya dengan segala bentuk syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 24)

Oleh sebab itulah Allah perintahkan kita untuk beribadah -dengan ikhlas- kepada-Nya hingga datangnya kematian. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan/kematian.” (al-Hijr : 99).

Setiap perintah beribadah di dalam al-Qur’an  maknanya adalah perintah bertauhid, sebagaimana tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang dinukil oleh Imam al-Baghawi rahimahullah (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 20). Ibnu Katsir rahimahullah menukil penafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma terhadap ayat (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian…” (al-Baqarah : 21). Beliau -Ibnu Abbas- berkata, “Tauhidkanlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/195)

Banyaknya harta bukanlah sebab keselamatan jika tidak disertai dengan tauhid dan keimanan. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89). Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat adalah hati yang sehat, yaitu hati kaum beriman. Karena hati orang kafir dan munafik sakit.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 942)

*Keagungan Kalimat Syahadat*

Pembaca rahimakumullah, syahadat laa ilaha illallah adalah cabang keimanan yang tertinggi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim). an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini.” (lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam)

Syahadat inilah yang kelak akan menyelamatkan seorang hamba di hari kiamat. Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat untuk mendakwahi pamannya Abu Thalib agar mau mengucapkan kalimat ini sebelum kematiannya. Sa’id bin al-Musayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha illallah… (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana’iz [1360] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [24])

Tentu saja yang dimaksud orang yang bersyahadat dengan sebenarnya adalah orang yang memahami kandungannya. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan ilmu pada diri orang yang mengucapkan syahadat, jika dia ingin masuk ke dalam surga. Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah, niscaya dia akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [26])

Namun, memahami kandungan syahadat dan mengucapkannya pun belum cukup jika tidak disertai dengan amalan nyata di dalam kehidupan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan orang yang ingin masuk surga untuk membersihkan dirinya dari syirik. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dia pasti masuk surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana’iz [1238] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [92])

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 23 cet. Dar Tsurayya 1424 H).

*Sebab Datangnya Ampunan Allah*

Kita juga telah mempelajari bersama bahwa salah satu keutamaan tauhid yang sangat dibutuhkan oleh setiap insan adalah bahwa tauhid merupakan sebab utama datangnya ampunan dari Allah. Hal ini telah ditunjukkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam Kitab Tauhid ketika membawakan sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu.

Anas berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi kemudian kamu berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan dengan-Ku sesuatu apapun pasti Aku akan mendatangkan kepadamu ampunan sepenuh itu pula.”.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilai hadits ini berderajat hasan).

Di dalam hadits qudsi ini Allah memberitakan kepada kita bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan memurnikan tauhidnya kepada Allah serta meninggalkan segala macam syirik niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya meskipun dosanya sepenuh bumi atau hampir sepenuh bumi (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 43)

Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidak cukup diucapkan dengan lisan. Akan tetapi ia harus diyakini dengan hati dan melakukan konsekuensinya yaitu meninggalkan berbagai bentuk syirik sedikit ataupun banyak. Sementara tidak akan bisa selamat dari syirik kecuali orang-orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya dan memenuhi syarat-syarat kalimat tauhid yaitu; mengetahui maksudnya, meyakininya, jujur dalam mengucapkannya, ikhlas, mencintai isinya, menerima dan patuh padanya dan mewujudkan konsekuensinya (lihat Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, hlm. 22 oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)

Konsekuensi dari syahadat ‘asyhadu anlaa ilaha illallah’ adalah mengikhlaskan amal untuk Allah semata sehingga tidaklah dipalingkan suatu bentuk ibadah apapun kepada selain-Nya, bahkan seluruh ibadah itu dimurnikan hanya untuk mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi dari syahadat ‘wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ adalah ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Allah tidak boleh diibadahi dengan bid’ah, perkara-perkara yang baru dalam agama ataupun segala bentuk kemungkaran (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/190)

*Kewajiban Bertauhid*

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sesungguhnya tauhid adalah kewajiban terbesar yang Allah perintahkan kepada setiap insan. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Hikmah dan tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah yaitu dengan mewujudkan maksud dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Makna laa ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Inilah tujuan utama dari ibadah (lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hlm. 56).

Oleh sebab itulah, Allah utus para rasul untuk membawa misi dakwah tauhid ini kepada setiap umat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36) .Ayat yang mulia ini memberikan pelajaran bagi kita, bahwa agama para nabi adalah satu, yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik, walaupun syari’at mereka berbeda-beda. Demikian pula, ayat ini menunjukkan, bahwa tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam agama Islam; karena ia diwajibkan atas semua umat (lihat faidah ini dalam al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hlm. 11-12)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hlm. 9)

Ayat di atas -an-Nahl : 36- juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya amalan tidaklah menjadi benar dan diterima kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah selain Allah (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hlm. 4).

Oleh sebab itu perintah bertauhid senantiasa bersanding dengan larangan dari berbuat syirik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Ayat ini menunjukkan bahwa menjauhi syirik adalah syarat sah ibadah, karena Allah menyandingkan perintah beribadah dengan larangan berbuat syirik. Sebagaimana ayat ini juga mengandung pelajaran penting bahwasanya hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 15)

Di dalam Kitab Tauhid ini juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah membawakan ayat Allah (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat ihsan/kebaikan.” (al-Israa’ : 23). Ayat itu menunjukkan bahwasanya tauhid adalah kewajiban paling pertama yang diperintahkan oleh Allah dan hak paling utama yang harus ditunaikan oleh setiap hamba (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitabit Tauhid, hlm. 14)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maka tauhid itu adalah hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Ia merupakan perintah agama yang paling agung, pokok dari seluruh pokok agama, dan pondasi amal-amal.” (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 43)

Aqidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah’. Aqidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas aqidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat ‘ala ath-Thahawiyah, hal. 23)

Demikian sedikit catatan faidah yang bisa disajikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita dalam memahami tauhid dan memberi motivasi bagi kita untuk terus menimba ilmu dan mengamalkannya hingga ajal tiba. Wallahul musta’aan.

Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

# Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-39/